Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan,
Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun
beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat,
tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama
Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi
orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman
el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan.
Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta
(tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau.
Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun
matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits
yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama
dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu
Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau
memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul
Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam
bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat
beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi
pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad.
Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti
al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari,
al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet
(Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier
Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967),
pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang
pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari
dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat,
Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam
arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat
(ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari
Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika
Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit
dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16
tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak”
dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota
suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada
usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah
wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama
gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu
kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi
disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam
memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini,
Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki
bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih.
Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab
Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari
diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin
Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan
beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh.
Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan
kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun
Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap
celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka,
kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan
selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua,
lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap
dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad,
Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin
menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut
mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji
hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari
mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut,
lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya.
Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala,
secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang
ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari
sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali
dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam
Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia
misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan
sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali
hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang
mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah
dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya
yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien”
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini
ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22
tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama
dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis
kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata,
“Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu
malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain
adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as
Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al
Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul
Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua
karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’
as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam
sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat
Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang
kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi
itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan
menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits
Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun
hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan
kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan
keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para
perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang
diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan
hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan
memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan
batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin
dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari
600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang
berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim
Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang
kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin
Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat
seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan
sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut
kedatangannya dari luar kota
sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin
Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak
menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab
aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota
guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya.
Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz
(Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad
sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi
dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu,
ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan
menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia
hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan
seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari
hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa)
hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al
Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya
monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam
meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut,
Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para
perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas
kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama
meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada
para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya
diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan
kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan
hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh
perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak
para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat
jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan
keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah
hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di
kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam,
Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir
dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di
Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya
mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela
kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal
sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan
olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan
menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali
dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai
intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal
sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam
disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih,
dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia
menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya
independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai
otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya
terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab
Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir
bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa
sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda
pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling
masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih,
yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada
kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad
saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu
kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan
menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam
sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong
beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun
kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari,
salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun
kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak
mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua
rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul
bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun
dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia
menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah,
sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di
Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan
menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini
dilakukan di dua kota
suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan
kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits
haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan
bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi
sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang
lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara
nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari
benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits
lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali
hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari,
para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih,
Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling
tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap
beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut
Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat
7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang,
dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam
kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata
pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan
atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat
dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat
berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli
hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata
karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad
bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan
mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian
kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.”
Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki.
Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa
“Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan
kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli :
“Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk,
maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya
tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya,
curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai
menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang
dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan
pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz
Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan
tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi
orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam
Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan
fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini,
yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah
pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil
kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman
adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang
paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang
pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat
kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa
menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia
adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand).
Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di
Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km)
sebelum Samarkand,
ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun
disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal
pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia
62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada
Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika
meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju
dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh
masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang
anakpun.
0 komentar:
Posting Komentar